Read this blog post in English.


Sementara masih menghadapi asap tebal dari kebakaran hutan dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia telah menyerahkan rancangan kebijakan iklim pasca-2020, yang dikenal sebagai Intended Nationally Determined Contribution (INDC), atau Kontribusi Nasional yang Dimaksudkan. Di dalam dokumen tersebut, negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kelima di dunia ini berkomitmen terhadap target tak bersyarat berupa 29 persen penurunan emisi pada tahun 2030 dibandingkan skenario business-as-usual, dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional. Dengan ini, Indonesia telah menetapkan untuk memperpanjang target mitigasi sukarela 2020 dan bergabung dengan lebih dari 70 negara lainnya yang telah mengumumkan INDC mereka.

Minggu lalu, WRI mempublikasikan sebuah blog mengenai bagaimana Indonesia dapat memperbaiki INDC mereka berdasarkan sebuah rancangan kebijakan yang telah disirkulasikan oleh pemerintah Indonesia, yang menekankan pentingnya sebuah baseline yang kuat dan transparan dalam perhitungan pengurangan emisi. Hasil akhir INDC Indonesia sebenarnya merupakan sebuah langkah maju, dengan diterapkannya sebuah standar kuantitatif untuk proyeksi emisi tahun 2030. Namun pada waktu yang bersamaan, INDC Indonesia telah menghapus informasi penting seperti perkiraan jumlah bantuan yang dibutuhkan untuk mencapai target kondisional Indonesia (sebelumnya disebutkan mencapai $6 miliar), dan INDC juga kurang menjelaskan secara detail model dan asumsi dari baseline yang mereka gunakan. Sehingga INDC yang diserahkan ini kurang mendorong ambisi pengurangan emisi gas rumah kaca yang melebihi 29%, ataupun merefleksikan sejumlah rekomendasi untuk memperkuat formulasi dan perhitungan target.

Dari sekarang hingga dialog iklim di Paris, Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang lebih transparan dengan mengeluarkan informasi yang telah disebutkan diatas untuk memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada pihak-pihak terkait mengenai besarnya usaha yang akan dilakukan oleh Indonesia. Konferensi pada bulan Desember nanti akan menjadi kesempatan penting bagi negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia untuk mendapatkan dukungan terhadap rancangan kebijakan iklim nasional yang komprehensif sebagai hasil dari skenario yang ambisius.



Indonesia dapat juga meningkatkan potensi mitigasi mereka dari sektor energi dan penggunaan lahan, yang, menurut sebuah laporan pemerintah, bertanggung jawab untuk 56 persen dan 34 persen dari total emisi gas rumah kaca.

Target Restorasi yang Lebih Kuat, Moratorium Hutan yang Diperpanjang

Rancangan kebijakan iklim Indonesia mencakup sebuah komitmen untuk memperkuat usaha mereka dalam mitigasi emisi dengan mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, memperbaiki fungsi ekosistem, serta pengelolaan hutan yang berkelanjutan, sekaligus menggaris-bawahi pendekatan bentang alam dalam penerapannya

Sayangnya, INDC Indonesia tidak memberikan kejelasan mengenai rencana mereka dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan gambut yang terus-menerus terjadi, serta merupakan salah satu sumber emisi terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Hanya dalam seminggu terakhir saja, terdapat 67,347 peringatan titik api, di mana 14,576 di antaranya memiliki tingkat keyakinan yang tinggi, menurut platform pengawasan hutan WRI, Global Forest Watch Fires.

Cukup bertolak belakang dengan rancangan INDC awal yang dapat diakses oleh publik, di mana disebutkan bahwa terdapat 12.7 juta hektar hutan sosial yang dapat digunakan sebagai strategi pengelolaan hutan yang lebih baik, INDC versi final tidak memiliki target restorasi yang kuat dan dapat dikuantifikasi. Perlu dicatat bahwa statistik terbaru menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 29 juta hetar (72 juta are) lahan tidak berhutan di wilayah kawasan hutan, yang memberikan potensi besar untuk restorasi jangka panjang.

Tentu saja, kebijakan moratorium di Indonesia–yang melarang pembuatan izin baru untuk konversi hutan primer dan lahan gambut–memberikan potensi mitigasi yang signifikan. Analisis terbaru oleh WRI dan Duke University menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca dari ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan (wilayah Borneo Indonesia) sendiri dapat dikurangi hingga 35 persen jika lahan gambut dan hutan primer dan sekunder dilindungi dari ekspansi perkebunan. Memperluas moratorium hingga mencakup hutan sekunder dan konsesi yang sedang berlaku dapat membantu Indonesia mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca secara substansial.

Energi yang Bersih dan Dapat Diakses untuk Semua

Sejak menjadi pengimpor bahan bakar minyak di tahun 2004, 60 persen pasokan energi Indonesia tergantung kepada minyak dan gas, hanya 6 persen yang berasal dari energi yang dapat diperbaharui. Dengan berlimpahnya potensi energi yang dapat diperbaharui di Indonesia, target untuk meningkatkan produksi sektor tersebut hingga empat kali lipat menjadi 23 persen dalam satu dekade kedepan harus menjadi prioritas pemerintah Indonesia.

Namun demikian, sebuah saran untuk melakukan investasi besar-besaran dalam energi batu bara baru-baru ini, sebagai bagian dari program listrik 35,000 MW pemerintah, menunjukkkan bahwa dalam waktu yang dekat, target produksi energi yang dapat diperbaharui akan terus bersaing dengan sumber energi berbasis minyak dan gas.

Tantangan lainnya dalam mengembangkan energi yang dapat diperbaharui di Indonesia, seperti infrastruktur data dan kerangka hukum yang kurang memadai, akan terus meningkatkan keraguan para investor. Membahas isu tersebut dengan membangun sebuah wadah analisis data yang terintegrasi yang mencakup informasi geospasial penting mengenai potensi sumber daya, data sosio-ekonomi dan peluang finansial, dapat menjadi langkah positif untuk mendukung para pembuat kebijakan dalam mencapai target tersebut.

Seperti proses pembuatan kebijakan pada umumnya, kehadiran sebuah rantai kewenangan yang jelas dan sebuah rancangan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang kuat, harus dimiliki untuk memastikan penerapan dan pertanggungjawaban yang efektif. Sebuah perubahan dalam struktur pemerintah baru-baru ini telah berdampak kepada kewenangan yang tumpeng-tindih dalam penerapan kebijakan perubahan iklim, yang secara potensial dapat menghambat Indonesia dalam mencapai potensi mitigasi maksimum mereka. Melangkah kedepan, proses pembuatan kebijakan dan tata kelola pemerintahan iklim yang lebih jelas akan meningkatkan secara signifikan peluang Indonesia dalam mencapai target reduksi emisi mereka. Keberhasilan penerapan rancangan kebijakan iklim pasca-2020 ini akan berkontribusi secara signifikan kepada target global untuk mengurangi tingkat pemanasan global hingga 2 derajat C (3.6 derajat F).