Kebakaran Hutan Indonesia Membawa Lebih Banyak Asap ke Asia Tenggara
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Andhyta Utami.
Gubernur provinsi Riau, Indonesia menyatakan keadaan gawat darurat pada minggu lalu saat kabut tebal menyelimuti sebagian besar wilayahnya, sehingga sejumlah sekolah dan bandara terpaksa ditutup. Menurut pejabat setempat, lebih dari 22.000 orang terkena gangguan pernapasan dengan potensi bertambahnya angka ini apabila angin membawa asap ke daerah yang lebih padat penduduk, seperti Kuala Lumpur atau Singapura.
Pembukaan lahan untuk produksi kayu dan pertanian berkemungkinan menjadi penyebab dari keadaan ini. Menurut data dari Global Forest Watch—suatu sistem online mutakhir yang melacak perubahan tutupan hutan, kebakaran, serta informasi lainnya secara nyaris seketika—sekitar separuh dari kebakaran hutan ini terjadi pada lahan yang dikelola oleh perusahaan kelapa sawit, HPH, dan HTI—meskipun penggunaan api untuk membuka lahan sebenarnya melanggar hukum.
Keadaan darurat terkait asap kabut ini mengingatkan kita pada kejadian yang serupa pada bulan Juni 2013 di Indonesia (lihat artikel-artikel WRI mengenai krisis kebakaran yang terjadi). Lalu apa yang berbeda pada kebakaran kali ini, dan apa yang masih sama? Kami akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut menggunakan teknologi satelit serta data dari pemerintah Indonesia yang terdapat pada Global Forest Watch.
Apa yang Serupa dengan Krisis Asap pada Juni 2013?
Analisis baru kami mendeteksi adanya 1.449 titik api dengan tingkat keyakinan tinggi di Pulau Sumatera selama periode 20 Februari–3 Maret 2014. Seperti kejadian bulan Juni lalu, titik api—yang dideteksi menggunakan Data Titik Api Aktif NASA—ini terkonsentrasi di Provinsi Riau.
Gambar 1: PETA PERSEBARAN PERINGATAN TITIK API DI SUMATRA, INDONESIA | 20-27 Februari 2014
Layaknya kejadian pada Juni 2013, hampir separuh dari titik api ini terletak pada lokasi konsesi kelapa sawit, HPH, serta HTI.
Grafik 2: TANDA KEBAKARAN DENGAN PENGGUNAAN LAHAN, SUMATRA, INDONESIA | 20 Februari – 3 Maret 2014
Temuan yang lain adalah bagaimana kumpulan titik api dapat dibedakan pada masing-masing kelompok perusahaan. Dengan menggunakan Global Forest Watch, setiap individu akan mampu menelusuri pola-pola yang terbentuk ini, memantau lokasi kebakaran secara akurat setiap hari, serta menentukan perusahaan-perusahaan mana saja yang beroperasi di wilayah-wilayah ini.
Grafik 3: PERINGATAN TITIK API TERKONSENTRASI PADA BEBERAPA KONSESI | 20-27 Februari 2014
Sederet daftar konsesi dan perusahaan yang terkena dampak kebakaran tersedia di akhir artikel ini. Diperlukan investigasi lapangan yang lebih seksama oleh pihak berwajib di Indonesia guna mengetahui secara pasti apa saja yang menyebabkan kebakaran pada lokasi-lokasi yang telah disebutkan sekaligus untuk menentukan kemungkinan pelanggaran hukum ketat yang mengatur pembatasan penggunaan api oleh perusahaan-perusahaan terkait.
Apa yang Berbeda dari Krisis Kabut Terkini?
Bulan Februari bukan waktu yang umum untuk kejadian kebakaran di Indonesia—musim kebakaran biasanya berkisar dari April hingga Oktober. Bulan Februari tahun ini telah menjadi salah satu bulan terkering di Indonesia dan negara-negaranya, memberikan dampak pada hasil panen serta memudahkan terjadinya pembakaran. Kekeringan semacam ini mungkin terjadi lebih sering dan parah, bersamaan dengan perubahan iklim yang juga makin memburuk.
Kebakaran-kebakaran di luar musim yang wajar ini mengkhawatirkan. Meskipun demikian, perkembangan positif terkini memungkinkan upaya pencegahan yang lebih gencar untuk kemungkinan kebakaran di masa depan. Salah satunya yaitu praktik kebijakan dan mekanisme pasar yang memberikan disinsentif atau bahkan memberikan pinalti pembersihan lahan dan pembakaran hutan di Indonesia. Singapura, sebagai contoh, mengajukan undang-undang baru yang memperbolehkan penerapan denda terhadap perusahaan-perusahaan—baik asing maupun domestik—yang menyebabkan terjadinya kabut asap lintas-batas yang berdampak pada wilayah Singapura. Dalam rancangan terkini dari undang-undang yang dimaksud, perusahaan dapat dikenakan denda hingga 238,000 USD jika berkontribusi pada kabut asap yang melewati batas negara. Denda ini masih terhitung kecil untuk perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia namun dampak reputasi yang dimungkinkan denda tersebut mampu mendorong perusahaan-perusahaan untuk lebih giat melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan.
Wilmar, perusahaan minyak sawit terbesar dunia, baru-baru ini membuat janji publik untuk hanya memproduksi dan membeli minyak sawit yang bebas deforestasi dan bebas pembakaran. Perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan Wilmar akan membahayakan kontrak mereka jika pada lahan konsesi perusahaan-perusahaan tersebut terjadi atau dipengaruhi oleh pembakaran hutan.
Lebih jauh lagi, melalui Global Forest Watch, dunia dapat melihat peristiwa-peristiwa seperti ini secara langsung setiap hari. Platform ini, diluncurkan pada 20 Februari oleh WRI dan lebih dari 40 partner, memberikan informasi nyaris seketika mengenai kebakaran dan data konsesi.
Dibutuhkan Aksi Lebih untuk Mencegah Kebakaran di Hutan Indonesia
Banyak hal yang seharusnya dapat dilakukan oleh Indonesia dan negara-negara lain untuk mengatasi masalah kebakaran hutan. Sementara Global Forest Watch menggunakan data terbaik yang tersedia, pemerintah Indonesia belum mengeluarkan data konsesi lahan mereka yang terkini. Data konsesi lahan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang ditampilkan di atas, memberikan gambaran yang baik mengenai perusahaan apa saja yang beroperasi di mana, namun data tersebut memiliki beberapa ketidakakuratan yang diketahui. Dibutuhkan transparansi lebih mengenai dimana tepatnya letak konsesi-konsesi lahan, sehingga memudahkan proses pengawasan dan penindakan kepada perusahaan ketika terjadi kebakaran.
Transparansi tersebut berpotensi meningkat dalam waktu yang cukup dekat. Pada bulan Oktober 2013, para menteri dari lima negara Asia Tenggara—termasuk Indonesia—bertemu untuk mendiskusikan penanggulangan kabut asap dan sepakat untuk membagi data konsesi secara bilateral (walaupun tidak mengeluarkannya kepada publik). Terlebih lagi, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah kelompok industri, telah mengadopsi sebuah resolusi yang menunjukan komitmen anggotanya untuk membagi data konsesi secara terbuka.
Untuk sementara ini, perusahaan, NGO, pemerintah, dan masyarakat sipil yang peduli dapat melihat data peringatan kebakaran di Global Forest Watch dan menumpangtindihkannya dengan data konsesi lahan, wilayah yang dilindungi, serta tutupan lahan. Dengan informasi yang mudah diakses ini, perusahaan, penegak hukum lokal, maupun pemerintah tidak mempunyai alasan lagi untuk tidak melakukan tindakan lebih.
PELAJARI LEBIH LANJUT: Untuk analisis WRI yang lebih banyak mengenai kebakaran di Indonesia, silakan periksa seri blog kami.
Gambar 4: KONSESI PERUSAHAAN TERHADAP TITIK API, SUMATRA, INDONESIA | FEBRUARI 20- MARET 3, 2014
Konsesi HTI dengan Jumlah Titik Api Terbanyak
Konsesi Kelapa Sawit dengan Jumlah Titik Api Terbanyak
Konsesi HPH dengan Jumlah Titik Api Terbanyak
Kami menggunakan Data Titik Api Aktif NASA untuk menentukan kemungkinan lokasi kebakaran di lapangan. Sistem ini menggunakan satelit MODIS NASA yang mensurvey bumi setiap 1-2 hari. Sensor-sensor yang ada pada satelit ini dapat mendeteksi heat signature dari api menggunakan pita spektrum inframerah. Ketika citra satelit tersebut diproses, sebuah algoritma mencari tanda-tanda potensi keberadaan titik api. Ketika titik api tersebut terdeteksi, sistem kemudian mengindikasikan area sebesar 1 kilometer persegi dimana titik api tersebut berada dan memunculkannya sebagai “peringatan titik api”. Sistem ini hampir selalu mendeteksi titip api sebesar 1.000 meter persegi, tapi dalam kondisiideal, sistem ini bahkan dapat mendeteksi kobaran api sekecil 50 meter persegi. Karena setiap satelit melewati garis khatulistiwa dua kali sehari, sistem peringatan titik api ini dapat menyediakan data yang nyaris seketika. Peringatan titik api ini lalu ditampilkan di laman FIRMS NASA dalam jangka waktu 3 jam setelah deteksi berlangsung oleh satelit tersebut.
Tingkat akurasi deteksi titik api juga sudah meningkat cukup jauh sejak sistem deteksi api pertama kali dikembangkan untuk satelit MODIS. Saat ini, tingkat deteksi ‘positif palsu’ (false positive) hanya 1/10 hingga 1/1000 dari tingkat pada saat sistem ini pertama kali dikembangkan di awal tahun 2000an. Algoritma yang digunakan untuk mendeteksi titik api saat ini juga telah memiliki langkah untuk mengeliminasi sumber deteksi positif palsu yang dapat berasal dari kilau matahari, kilau permukaan air, lingkungan gurun yang panas dan sumber deteksi positif palsulainnya. Ketika sistem tidak memiliki cukup informasi untuk mendeteksi titik api secara meyakinkan, peringatan atas potensi titik api tersebut akan diabaikan. Secara umum, observasi pada malam hari memiliki akurasi yang lebih tinggi dibandingkan observasi pada siang hari; dan ekosistem gurun memilikitingkat deteksi positif palsu yang lebih tinggi.
Banyak penelitian yang telah dipublikasikan untuk memvalidasi data peringatan titik api MODIS milik NASA untuk dapat digunakan dalam berbagai skenario aplikasi. WRI telah mengajukan sebuah rekomendasi untuk menggunakan sistem ini dalam mendeteksi api yang digunakan untuk pembukaan lahan (dideskripsikan dalam tulisan Morton dan Defries di tahun 2008), mengidentifikasi titik api dengan nilai kecerahan (brightness value) diatas 330 Kelvin dan tingkat keyakinan deteksi (confidence value) diatas 30% yang dapat mengindikasikan api dengan tingkat deteksi keyakinan tinggi (high confidence) untuk pembukaan lahan. Titik api dengan tingkat keyakinan deteksi rendah (low confidence) adalah api dengan intensitas rendah yang dapat berasal dari aktivitas pembersihan lahan non-hutan (dapat berupa pembersihan ladang atau pembakaran rumput). Penggunaan klasifikasi ini telah memunculkan standar yang lebih tinggi dalam mendeteksi keberadaan titik api daripada sekedar menggunakan peringatan titik api secara umum.
Sumber: NASA FIRMS FAQ Morton, D., R. DeFries, J. T. Randerson, L. Giglio, W. Schroeder, and G. van der Werf. 2008. Agricultural intensification increases deforestation fire activity in Amazonia. Global Change Biology 14:2262-2276.