Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Andhyta Utami.

Read this post in English here.

Indonesia memiliki hutan hujan terbesar ketiga di dunia, menjadikannya rumah bagi keanekaragaman hayati sekaligus tali penolong ekonomi bagi banyak masyarakat pedesaan. Meskipun demikian, area hutan Indonesia berkurang dengan pesat sehingga Indonesia terus menempati posisi atas dalam daftar negara penyumbang angka deforestasi.

Kunci untuk melindungi hutan Indonesia terletak pada reformasi sektor kehutanan dan pertanian. Dengan memberikan perangkat bagi industri untuk memproduksi komoditas seperti kelapa sawit dan kertas secara berkelanjutan, Indonesia dapat meningkatkan produksi agrikulturnya tanpa harus berkontribusi terhadap deforestasi.

Salah satu perkembangan menjanjikan dalam skema tersebut adalah penggunaan lahan terdegradasi bagi perkebunan baru untuk kelapa sawit maupun komoditas lainnya. Praktik ini meliputi penempatan perkebunan baru pada lahan yang memang sudah tidak berhutan atau terdegradasi, alih-alih menebang lahan berhutan yang berharga. Meskipun demikian, produsen harus menghadapi sekumpulan peraturan yang rumit jika mereka ingin menggeser operasi mereka dari lahan berhutan ke lahan terdegradasi.

WRI mempublikasikan analisis singkat untuk membahas tantangan tersebut: *How to Change Legal Land Use Classifications to Support More Sustainable Palm Oil in Indonesia (Bagaimana Mengubah Klasifikasi Legal Penggunaan Kawasan untuk Mendukung Kelapa Sawit yang Lebih Berkelanjutan di Indonesia). Publikasi ini memberikan panduan praktis bagi perusahaan untuk memindahkan operasi kelapa sawitnya dari lahan berhutan ke lahan terdegradasi, sekaligus menawarkan beberapa rekomendasi kepada para pembuat kebijakan di Indonesia untuk membuat proses ini dapat berlangsung dengan lebih mudah.

4 Langkah untuk Memproduksi Kelapa Sawit Berkelanjutan

  1. Menyatakan komitmen terhadap sertifikasi dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
  2. Memulai identifikasi lahan terdegradasi yang sesuai dengan menggunakan Suitability Mapper WRI.
  3. Awali dengan prinsip “free prior and informed consent” (FPIC) atau “Persetujuan Dengan Informasi Awal Tanpa Paksaan” (PADIATAPA) pada komunitas yang akan menerima dampak.
  4. Jika lahan tidak tersedia secara legal, lakukan proses tukar-menukar lahan.

Rekomendasi.

Sistem Klasifikasi Fungsi Lahan yang Rumit

Sistem klasifikasi fungsi lahan Indonesia menghadirkan beberapa tantangan serius bagi perusahaan, pengembang proyek, maupun masyarakat yang berusaha menghindari penebangan hutan dan konflik sosial. Per tahun 2011, sekitar 70% dari total wilayah Indonesia diklasifikasikan sebagai ‘Kawasan Hutan’ oleh Kementerian Kehutanan. Kawasan Hutan dapat secara legal ditunjuk untuk untuk fungsi tertentu, termasuk konservasi keanekaragaman hayati, kesejahteraan masyarakat, usaha tebang pilih, serta penggunaan non-hutan lain seperti perkebunan. Sisa 30% dari lahan negara diklasifikasikan sebagai Area Penggunaan Lain (APL) dan dapat dikembangkan untuk pertanian, pemukiman urban, serta tujuan lain.

Meskipun demikian, banyak di antara klasifikasi ini tidak mencerminkan realitas dari tutupan lahan di lapangan. Sebagai contoh, sejumlah area dengan klasifikasi Kawasan Hutan seesungguhnya merupakan area pemukiman atau terdegradasi, sementara banyak APL justru berisi hutan primer yang masih bagus. Sebagai hasilnya, sebagian besar lahan yang secara legal diperbolehkan untuk pengembangan kelapa sawit dan komoditas lain sebenarnya tidak sesuai untuk ditanami karena keberadaan hutan dengan nilai konservasi tinggi, gambut, ataupun adanya konflik komunitas. Sebaliknya, area yang sudah terdegradasi dengan cadangan karbon rendah yang sesuai untuk penanaman kelapa sawit berkelanjutan justru secara legal tidak dapat dipergunakan.

Isu tata kelola dan yurisdiksi juga semakin memperumit masalah ini. Keputusan yang mengatur penggunaan Kawasan Hutan—termasuk wilayah yang sudah tidak berhutan sejak lama—berada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan. Kementerian dan lembaga lain yang sebenarnya dapat berkontribusi dalam pengelolaan lahan terdegradasi yang lebih baik—seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan, serta pemerintah daerah—tidak memiliki wewenang terhadap area yang berada di bawah Kawasan Hutan ini.

Banyak Lahan Terdegradasi Sesuai untuk Pengembangan Kelapa Sawit

Lima provinsi di Pulau Kalimantan sendiri memiliki lahan terdegradasi melimpah yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit—sekitar 14.6 juta hektar, area yang lebih besar dari luas wilayah negara Yunani. Meskipun demikian, 5.3 juta hektar dari total tersebut terletak di Kawasan Hutan, dan karenanya secara legal tidak dapat digunakan untuk penanaman agrikultur (lihat Tabel 1).

Sisanya, 8.6 juta hektar (hampir setengah) dari lahan yang secara legal dapat digunakan untuk penanaman kelapa sawit justru tidak sesuai dari segi perhitungan lingkungan serta biofisik. Terlepas dari kesulitan-kesulitan ini, kesempatan bagi perusahaan kelapa sawit untuk mentransisikan proyek mereka dari lahan berhutan ke lahan terdegradasi masih terbuka. Perusahaan yang ingin memproduksi kelapa sawit berkelanjutan dapat mengubah klasifikasi fungsi kawasan dalam area konsesi mereka untuk berpindah ke lahan terdegradasi—sebuah proses yang secara informal disebut sebagai ‘tukar-menukar lahan’ (land swap).

Perlunya Reformasi Hukum

Meskipun secara legal perusahaan masih dimungkinkan untuk melakukan tukar-menukar dan menjadi produsen yang lebih berkelanjutan, proses ini masih jauh dari mudah.

Di luar tinjauan hukum di atas kertas, WRI juga telah mencoba untuk melakukan tukar-menukar lahan melalui sebuah proyek percobaan bersama partnernya di Indonesia, Sekala dan PT. Smart, salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar yang terdaftar secara publik. PT. Smart, yang telah berkomitmen untuk mengikuti panduan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dalam memproduksi kelapa sawit berkelanjutan, memegang izin untuk sejumlah lahan gambut berhutan di provinsi Kalimantan Barat yang telah diklasifikasikan sebagai APL. PT. Smart telah bersedia untuk mencari situs alternatif di lahan terdegradasi.

Pada tahun 2009, WRI dan Sekala mengidentifikasi sebuah potongan lahan terdegradasi yang sesuai untuk ditanami, dengan masyarakat lokal yang juga memiliki keinginan yang kuat untuk mengembangkan kelapa sawit. WRI, Sekala, dan PT. Smart kemudian mencoba untuk memfasilitasi reklasifikasi dari area ini melalui proses revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Indonesia. Sayangnya, setelah dua tahun usaha yang tidak cuma-cuma, rancangan tersebut ditolak oleh pemerintah nasional, dan karenanya ditunda karena kompleksitas dan biaya dari proses legal tersebut.

Contoh ini menunjukkan bagaimana perusahaan menghadapi rintangan yang signifikan ketika mencoba melakukan tukar-menukar lahan, terutama dari segi waktu, biaya, serta kompleksitas legal dari proses tersebut. Tapi pembuat kebijakan di Indonesia dapat mengambil tindakan untuk menjadikan tukar-menukar lahan proses yang lebih mudah sehingga dapat membawa Indonesia kepada pengembangan kelapa sawit yang lebih berkelanjutan.

Peran Pembuat Kebijakan Indonesia dalam Mendukung Kelapa Sawit Berkelanjutan

Rekomendasi kunci kami adalah bahwa Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pekerjaan Umum mengklarifikasi dan menyederhanakan kebijakan tukar-menukar lahan. Dua kementerian yang berperan penting dalam proses RTRW di Indonesia ini harus berkolaborasi dalam menerbitkan peta yang konsisten dan akurat, mendokumentasikan sekaligus mengurangi langkah yang diperlukan untuk menyetujui suatu rencana tata ruang, sekaligus bekerja sama dengan kementerian dan pemerintah daerah lain untuk membuat data tutupan dan penggunaan lahan dapat diakses secara luas.

Beberapa prinsip untuk melakukan reformasi ini:

  • Kementerian Kehutanan harus menerbitkan peraturan yang jelas untuk melakukan tukar-menukar lahan. Praktik tukar-menukar lahan selama ini sudah dilakukan secara informal sebagai bagian dari proses rencana tata ruang wilayah Indonesia yang dilakukan setiap lima tahun. Tetapi tidak ada panduan legal untuk pertukaran semacam ini, sehingga usaha untuk melakukan tukar-menukar lahan dengan tujuan lingkungan maupun sosial seringkali terhambat. Kementerian Kehutanan, bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan pemerintah daerah, harus menerbitkan peraturan khusus yang memungkinkan pertukaran status legal lahan tersebut. Peraturan ini harus juga memuat definisi yang jelas untuk istilah ‘tukar-menukar lahan’ (land swap), menggambarkan panduan yang jelas untuk pihak yang ingin melakukan pertukaran, serta mengurangi langkah-langkah yang diperlukan untuk menambah atau mengurangi wilayah ‘Kawasan Hutan’ yang berada dalam wewenang Kementerian Kehutanan.
  • Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pekerjaan Umum harus memastikan bahwa klasifikasi legal dari suatu lahan sesuai dengan realitas di lapangan. Kementerian harus bekerja sama dengan para bupati dan gubernur untuk mencocokkan rencana tata ruang dengan kondisi biofisik serta sosial yang sebenarnya. Ini dapat dilakukan antara lain melalui audit atau pemeriksaan kembali terhadap klasifikasi legal yang sudah ada pada level kabupaten, serta menggunakan persyaratan bahwa semua prosedur reklasifikasi harus disesuaikan dengan pertimbangan biofisik maupun sosial. Sebagai contoh, ‘Kawasan Hutan’, atau area berhutan sesuai dengan hukum Indonesia, harus mencakup seluruh area dengan tutupan pohon yang sifnifikan. Sebagai gantinya, area tanpa pohon yang telah dibersihkan sejak waktu yang lama seharusnya tidak diklasifikasikan sebagai ‘Kawasan Hutan’.
  • Pengambilan kebijakan harus didasarkan pada sebuah set peta tunggal yang akurat dan konsisten. Pemerintah lokal dan nasional harus mendukung inisiatif seperti OneMap dari Presiden Indonesia untuk memastikan bahwa perencanaan di level nasional maupun lokal telah dimasukkan dalam suatu database ataupun peta tunggal yang dapat diakses oleh publik. Hari ini, setiap kementerian menerbitkan peta mereka masing-masing, tetapi belum diselaraskan antara satu sama lain maupun dengan berbagai level yurisdiksi yang berbeda. Sebagai contoh, Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Kehutanan, serta Kementerian Pertanian seharusnya menyediakan data mereka masing-masing mengenai fitur biofisik (tutupan lahan) maupun unsur legal (klasifikasi, perizinan, serta klaim lokal) bagi proses RTRW. Pemerintah daerah, yang memiliki data penting mengenai penggunaan lahan dan konsesi, juga dapat membagi data mereka.

Klarifikasi dan penyederhanaan kebijakan tukar-menukar lahan akan membantu perusahaan Indonesia, pemerintah daerah, serta masyarakat untuk menggunakan lahan dengan lebih efisien, melestarikan hutan yang berharga, sekaligus mengekspansi lapangan pekerjaan serta pertumbuhan ekonomi. Dengan naiknya permintaan global untuk kelapa sawit dan komoditas lain secara berkelanjutan, tukar-menukar lahan dapat membantu Indonesia untuk menjawab permintaan pasar ini dengan juga mengurangi dampak lingkungan.

  • LEBIH LANJUT: Baca analisis singkat untuk informasi lebih lanjut mengenai bagaimana perusahaan dan pembuat kebijakan dapat memperbaiki proses ini untuk hutan dan masyarakat Indonesia.